Selasa, 25 Oktober 2011

BUDAYA KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN


BUDAYA KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN
oleh:  SUYONO A, S.Pd.
GURU SMP NEGERI 2 MEJAYAN, KABUPATEN MADIUN

                Profesi yang mulia salah satunya adalah guru. Di tangan guru masa depan siswa ditentukan. Jika seorang guru melakukan tindakan kekerasan terhadap siswanya, maka ia telah melakukan pengkianatan terhadap pendidikan. Karena tujuan  pendidikan nasional sesuai  undang-undang nomor 2 tahun 1989 adalah  mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan ketrampilan,kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan . Contoh budaya kekerasan  yang ditampilkan oleh seorang guru hanya akan menciptakan generasi-generasi penerus yang mempunyai budaya dendam dan budaya kekerasan.
                Penampilan guru yang penuh kasih sayang, jauh dari tindakan yang menjurus kepada kekerasan, dan dapat menjadi pelindung dalam keseharian bersama guru di sekolah adalah sikap guru profesioanal yang mempunyai kopetensi social. Guru yang seharusnya melindungi siswa sebagai anaknya di sekolah justru melakukan tindakan kekerasan pada siswa. Maka siapa lagi yang akan memberikan kasih sayang. Apalagi kalau ada siswa yang ketika berada di rumah sering mendapatkan kekerasan dari keluarganya, tidak dapat dibayangkan bagaimana penderitaan jiwa anak didik itu. Sekolah seharusnya menjadi rumah kedua bagi siswa, dimana mereka banyak meluangkan waktu dalam memperoleh pendidikan dan guru menjadi orang tua kedua dalam mengasuh anak. Sekolah seharusnya menjadi tempat aman dan menyenangkan bagi siswa  yang jauh dari kekerasan dan anarkis.
                Guru adalah manusia biasa yang dalam hal-hal tertentu mempunyai keterbatasan seperti manusia pada umumnya, terkadang tindakan guru lepas dari koridor sebagai seorang pendidik. Guru memberi hukuman pada siswa sebagai upaya membentuk kedisiplinan pada siswa. Bahkan pada kondisi dan kasus-kasus tertentu hukuman guru pada siswa memang juga dibutuhkan untuk memberikan efek jera dan pembelajaran hidup. Namun bukan berarti guru dapat berlindung dibalik tindakan guru mendisiplinkan siswa dengan cara kekerasan. Hukuman  terhadap siswa tidak harus dengan kekerasan. Akan lebih bijaksana apabila seorang guru mencari penyebab dan jalan keluarnya. Sudah seharusnya guru sebagai pendidik menerapkan pola asuh yang lebih menekankan pada pemberian motivasi dan contoh perilaku baik dari pada hukuman agar siswa mampu bertanggung jawab secara social.
                Penyebab tindakan kekerasan dalam pendidikan dapat dipengaruhi oleh berbagai factor, baik itu dari guru, siswa, maupun lingkungan. Keberadaan siswa tidak terlepas dari dimensi psikologis dan kepribadian siswa itu sendiri. Latar belakang pola asuh dan masa lalu siswa sangatlah heterogen sehingga pola pembelajaran yang klasikal kadang mengabaikan beberapa karakter siswa. Akibatnya tanpa disadari dapat menimbulkan ketidakharmonisan interaksi anatar guru dengan siswa. Maka tidak heran jika ada sebagian anak yang mencari perhatian dengan bertingkah laku yang bermacam-macam dengan cara yang tidak sehat/negative. Pada lingkungan siswa, misalnya tayangan televisi yang berbau kekerasan yang berkorelasi dengan heroisme,  kehebatan, kekuatan, dan kekuasaan akan memberikan contoh  kepada siswa sehingga terpola gaya hidup siswa yang mengarah pada budaya kekerasan jika dalam menyaksikan tayangan tersebut tanpa didampingi oleh orang tua mereka.
                Dampak kekerasan yang paling dirasakan pada pendidikan akibat dari siswa dijadikan sebagai obyek penderita adalah dampak fisik dan dampak psikis yang berupa trauma berkepanjangan, rasa takut, rasa tidak aman, dendam, merasa tidak berguna, dan masih banyak lagi.
                Solusi untuk mengatasi kekerasan pada dunia pendidikan diperlukan keterlibatan berbagai pihak. Sekolah menjadi ujung tombak terciptanya prilaku guru dan siswa yang beradab dan bermartabat. Di sinilah diperlukan peningkatan pemahaman terhadap pendidik dan tenaga kependidikan tentang pentinnya pendidikan tanpa kekerasan. Suasana belajar yang kondusif dapat dilakukan dengan menumbuhkan minat belajar, menjalin rasa simpati dan saling pengertian, menciptakan suasana riang, menciptakan rasa saling memiliki, dan menunjukkan teladan yang baik. Sekolah yang ramah bagi siswa merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi dengan  kondisi belajar yang efektif dan berfokus pada siswa serta memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa.
                Pemerintah telah mengatur dalam undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Ini sebagai peran pemerintah dalam mengatasi kekerasan pada dunia pendidikan khususnya. Namun kasus kekerasan pada pendidikan tidak pernah tersentuh oleh hukum  manakala kekerasan menjadi hal yang lumrah atau biasa. Terkadang jika seorang guru menjadi pelaku kekerasan biasanya hanya mendapatkan hukuman administrasi, sedangkan proses hukumnya tidak berjalan. Padahal jelas tindakan guru telah melanggar undang-undang perlindungan anak. Untuk menghindari semakin banyaknya kasus kekerasan siswa di sekolah maka guru perlu diberikan pemahaman tentang undang-undang perlindungan anak.
                Solusi dan konsep belajar di atas diharapkan menjadi pelajaran untuk mengurangi munculnya konflik yang akam memicu timbulnya kekerasan di sekolah. Pendidikan adalah suatu proses yang kadang-kadang hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Namun jika tahapan-tahapan dari suatu proses dapat dikendalikan dan tidak keluar dari kaidah-kaidah mendidik maka tujuan pendidikan akan tercapai sesaui dengan keinginan dan harapan dengan menjauhkan anak didik dari budaya kekerasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar