BUDAYA
KEKERASAN DALAM PENDIDIKAN
oleh: SUYONO A,
S.Pd.
GURU SMP NEGERI 2 MEJAYAN, KABUPATEN MADIUN
Profesi
yang mulia salah satunya adalah guru. Di tangan guru masa depan siswa
ditentukan. Jika seorang guru melakukan tindakan kekerasan terhadap siswanya,
maka ia telah melakukan pengkianatan terhadap pendidikan. Karena tujuan pendidikan nasional sesuai undang-undang nomor 2
tahun 1989 adalah mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang
beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan ketrampilan,kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian
yang mantap dan mandiri serta rasa tanggungjawab kemasyarakatan dan kebangsaan
. Contoh budaya kekerasan yang
ditampilkan oleh seorang guru hanya akan menciptakan generasi-generasi penerus
yang mempunyai budaya dendam dan budaya kekerasan.
Penampilan guru yang penuh kasih
sayang, jauh dari tindakan yang menjurus kepada kekerasan, dan dapat menjadi
pelindung dalam keseharian bersama guru di sekolah adalah sikap guru profesioanal
yang mempunyai kopetensi social. Guru yang seharusnya melindungi siswa sebagai
anaknya di sekolah justru melakukan tindakan kekerasan pada siswa. Maka siapa
lagi yang akan memberikan kasih sayang. Apalagi kalau ada siswa yang ketika
berada di rumah sering mendapatkan kekerasan dari keluarganya, tidak dapat
dibayangkan bagaimana penderitaan jiwa anak didik itu. Sekolah seharusnya
menjadi rumah kedua bagi siswa, dimana mereka banyak meluangkan waktu dalam
memperoleh pendidikan dan guru menjadi orang tua kedua dalam mengasuh anak.
Sekolah seharusnya menjadi tempat aman dan menyenangkan bagi siswa yang jauh dari kekerasan dan anarkis.
Guru adalah manusia biasa yang
dalam hal-hal tertentu mempunyai keterbatasan seperti manusia pada umumnya,
terkadang tindakan guru lepas dari koridor sebagai seorang pendidik. Guru
memberi hukuman pada siswa sebagai upaya membentuk kedisiplinan pada siswa.
Bahkan pada kondisi dan kasus-kasus tertentu hukuman guru pada siswa memang
juga dibutuhkan untuk memberikan efek jera dan pembelajaran hidup. Namun bukan
berarti guru dapat berlindung dibalik tindakan guru mendisiplinkan siswa dengan
cara kekerasan. Hukuman terhadap siswa
tidak harus dengan kekerasan. Akan lebih bijaksana apabila seorang guru mencari
penyebab dan jalan keluarnya. Sudah seharusnya guru sebagai pendidik menerapkan
pola asuh yang lebih menekankan pada pemberian motivasi dan contoh perilaku
baik dari pada hukuman agar siswa mampu bertanggung jawab secara social.
Penyebab tindakan kekerasan
dalam pendidikan dapat dipengaruhi oleh berbagai factor, baik itu dari guru,
siswa, maupun lingkungan. Keberadaan siswa tidak terlepas dari dimensi
psikologis dan kepribadian siswa itu sendiri. Latar belakang pola asuh dan masa
lalu siswa sangatlah heterogen sehingga pola pembelajaran yang klasikal kadang
mengabaikan beberapa karakter siswa. Akibatnya tanpa disadari dapat menimbulkan
ketidakharmonisan interaksi anatar guru dengan siswa. Maka tidak heran jika ada
sebagian anak yang mencari perhatian dengan bertingkah laku yang bermacam-macam
dengan cara yang tidak sehat/negative. Pada lingkungan siswa, misalnya tayangan
televisi yang berbau kekerasan yang berkorelasi dengan heroisme, kehebatan, kekuatan, dan kekuasaan akan
memberikan contoh kepada siswa sehingga
terpola gaya hidup siswa yang mengarah pada budaya kekerasan jika dalam
menyaksikan tayangan tersebut tanpa didampingi oleh orang tua mereka.
Dampak kekerasan yang paling
dirasakan pada pendidikan akibat dari siswa dijadikan sebagai obyek penderita
adalah dampak fisik dan dampak psikis yang berupa trauma berkepanjangan, rasa
takut, rasa tidak aman, dendam, merasa tidak berguna, dan masih banyak lagi.
Solusi untuk mengatasi kekerasan
pada dunia pendidikan diperlukan keterlibatan berbagai pihak. Sekolah menjadi
ujung tombak terciptanya prilaku guru dan siswa yang beradab dan bermartabat.
Di sinilah diperlukan peningkatan pemahaman terhadap pendidik dan tenaga
kependidikan tentang pentinnya pendidikan tanpa kekerasan. Suasana belajar yang
kondusif dapat dilakukan dengan menumbuhkan minat belajar, menjalin rasa
simpati dan saling pengertian, menciptakan suasana riang, menciptakan rasa
saling memiliki, dan menunjukkan teladan yang baik. Sekolah yang ramah bagi siswa
merupakan sekolah yang berbasis pada hak asasi dengan kondisi belajar yang efektif dan berfokus
pada siswa serta memfokuskan pada lingkungan yang ramah pada siswa.
Pemerintah telah mengatur dalam
undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan anak. Ini sebagai peran
pemerintah dalam mengatasi kekerasan pada dunia pendidikan khususnya. Namun
kasus kekerasan pada pendidikan tidak pernah tersentuh oleh hukum manakala kekerasan menjadi hal yang lumrah
atau biasa. Terkadang jika seorang guru menjadi pelaku kekerasan biasanya hanya
mendapatkan hukuman administrasi, sedangkan proses hukumnya tidak berjalan.
Padahal jelas tindakan guru telah melanggar undang-undang perlindungan anak.
Untuk menghindari semakin banyaknya kasus kekerasan siswa di sekolah maka guru
perlu diberikan pemahaman tentang undang-undang perlindungan anak.
Solusi dan konsep belajar di
atas diharapkan menjadi pelajaran untuk mengurangi munculnya konflik yang akam
memicu timbulnya kekerasan di sekolah. Pendidikan adalah suatu proses yang
kadang-kadang hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Namun jika
tahapan-tahapan dari suatu proses dapat dikendalikan dan tidak keluar dari
kaidah-kaidah mendidik maka tujuan pendidikan akan tercapai sesaui dengan
keinginan dan harapan dengan menjauhkan anak didik dari budaya kekerasan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar